TRADISI

MEMAKNAI TRADISI

Dalam mempelajari tradisi adat dan budaya jawa ( Cirebon ),hendaklah jangan langsung mengikuti dan menerimanya mentah-mentah tanpa kita tahu maksud dan tujuannya. Karena tradisi adat dan budaya jawa ( Cirebon )banyak menggunakan bahasa konotasi dan kiasan dalam menterjemahkan dan mengartikan sesuatu. Kalau kita langsung mengikuti dan menerimanya mentah-mentah, bisa jadi kita akan salah kaprah,keliru dan keluar dari maksud dan tujuan yang dimaksud. Oleh karena itu berhati-hatilah dalam memahami falsafah dan budaya jawa ( khususnya Cirebon ).

 

MAKNA PENGASIHAN

Ilmu Pengasihan sebuah kepercayaan tentang ilmu dan keyakinan yang membuat org lain menjadi terpesona & tertarik.

Tapi bukan dengan cara pasang susuk, ajimat, atau ritual tertentu untuk mendapatkannya. Karena pada dasarnya pengasihan adalah aura yang terpancar dari diri kita & tolak ukurnya adalah diri kita
sendiri. Jika kita baik hati, sopan,rajin,jujur,pandai bergaul dll, itulah
yg membuat diri kita menarik & membuat simpati orang lain.

Kalau tidak akan sebaliknya,  kebencian yang akan kita dapatkan .

 

                                                SAJEN

 

Sajen atau sesaji merupakan adat dan tradisi budaya jawa ( cirebon ) yang masih ada hingga sekarang. Sajen yang artinya sahe kanggo wong sejen dalam bahasa indonesia berarti Sah kalau untuk  orang lain, yang mengandung arti  penyajian  untuk  menghormati orang lain yang masih hidup.

Menurut sejarah sesaji adalah peninggalan budaya hindu, budha sebagai persembahan pada dewa-dewa atau nenek moyang.Setelah masuknya Islam di tanah jawa melalui sembilan  sunan atau wali songo. Dalam penyebaran dan dakwahnya tentang ajaran agama  Islam di tanah jawa, wali songo  menggunakan metode pengajaran  dan dakwah melalui  pendekatan  adat dan budaya, hal ini bertujuan untuk mempermudah masuknya ajaran islam ditanah jawa agar  mudah diterima dan bertujuan  untuk menghindari timbulnya konflik diantara umat islam , yang mayoritas dulu beragama hindu budha. 

Oleh karena itu dalam dakwahnya tentang ajaran islam, wali songo tidak melarang dan menghilangkan budaya sesaji yang telah menjadi adat dan budaya masyrakat sebelumnya yang mayoritas beragama hindu dan budha. Tapi dengan mengarahkan sesaji dengan mengarahkannya  pada adat dan tradisi budaya islam, yakni yang dulu digunakan sebagai media persembahan untuk para dewa-dewa atau nenek moyang yang sudah mati ( kepercayaan  Animisme dan dinamisme ), diarahkan pada penghormatan  pada tamu atau penyajian  pada manusia yang masih hidup sebagai jamuan atau penghormatan.

Dalam sesajen atau sesaji banyak menggunakan makna konotasi atau simbol-simbol tertentu dalam memaknai penyajian dan mengartikannya, seperti halnya makanan dan minuman tujuh rupa yang mempunyai arti sebagai perlambangan sifat dasar manusia, seperti jasad, ruh, akal, hati, imajinasi, nafsu, dan qolbu , dan sebagainya. Oleh karena itu budaya dan tradisi sesaji masih ada hingga sekarang, tapi makna dan arti sesaji sekarang suadah banyak yang mengalami penyimpangan dari makna dan maksud sebenarnya seperti yang diajarkan  para wali sebelumnya. Karena lebih condong kembali pada keyakinan hindu budha yakni keyakinan pada animisme dan dinamisme, serta mengalami kebuntuan dalam penjabarannya, yakni maksud dan tujuannya.

 

                                      SEDEKAH BUMI

 

Sedekah bumi merupakan tradisi nenek moyang masyarakat Cirebon yang dilakukan hingga sekarang.

Sedekah bumi pada masa kejayaan kerajaan islam Cirebon merupakan bentuk rasa syukur kepada 4jjl karena telah menciptakan langit dan bumi, serta alam sekitarnya. Karena bumi  merupakan tempat kita berasal , tempat kita tinggal. tempat segala aktifitas kita hidup, serta tempat kita kembali , telah memberikan segala-galanya kepada kita. 

Dan bumi yang dikaruniai 4jjl telah memberikan kita umat manusia akan segala kebutuhannya ,baik makanan, minuman, pakaian dan lain-lainnya , yang  4jjl berikan melalui karunia bumi. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kita memuji dan bersyukur kepada 4jjl ,terhadap karunia 4jjl, yang 4jjl berikan melalui bumi, dalam bentuk rasa syukur kepada 4jjl. Dari wujud rasa syukur inilah karunia 4jjl akan bertambah .Dan masyarakat cirebon meyakini akan hal ini, .

Namun seiring berkembangnya jaman, tradisi sedekah bumi banyak mengalami menyimpangan, dari maksud dan tujuan yang sebenarnya semasa kejayaan kerajaan  islam cirebon . Hal ini karena dipengaruhi adat dan tradisi lama hindu budha, dan pengaruh penguasa, yakni kolonial semasa penjajahan ,hingga tradisi sedekah bumi banyak mengalami penyimpangan dari maksud dan tujuan yang sebenarnya. Yang sekarang lebih condong pada hura-hura, pesta pora, dan kemusrikan. Dari pada maksud sebenarnya, yakni mensyukuri karunia 4jjl yang 4jjl berikan melalui bumi. Dengan  menjaga, melestarikan, memanfaatkan dan mensyukuri karunia 4jjl yang 4jjl berikan melalui bumi.

Oleh karena itu, bukanlah sebuah kesalahan, jika kita tetap melestarikan adat dan budaya sedekah bumi ini, selagi tidak menyimpang dari maksud dan tujuan yang sebenarnya. Sebagai wujud rasa syukur kita kepada 4jjl yang telah mengkaruniai  bumi. 

 

                       MEMAKNAI TRADISI MULUDAN

 

Muludan artinya merayakan mulud yang berasal dari bahasa arab Maulid yang artinya kelahiran. Bulan ini adalah kelahiran Kanjeng Rasulullah Muhammad saw pada tanggal 12 Robi'ul Awal. Bulan Mulud adalah bulan ke tiga dalam perhitungan kalender Islam Jawa. Di bulan ini biasanya ramai terutama di pusat pemerintahan dijaman Kasultanan Cirebon.
Sperti di kraton-kraton lainnya di tanah Jawa, di Cirebon juga diadakan acara yang dinamakan Grebeg Mulud yang lebih dikenal dengan sebutan "Panjang Djimat". Acara ini diadakan oleh tiga Keraton, yaitu Kasepuhan , Kanoman, Kacirebonan pada tepat tgl 12 Mulud. Acara ini cukup cukup menarik perhatian masyarakat terutama masyarakat di sekitar kota Cirebon.
Suasana acara Panjang Djimat seolah-olah melambangkan kehamilan dan kelahiran yang di ekspresikan dengan simbol-simbol. Kelahiran dari Rasulullah Muhammad saw. Prosesi Panjang Djimat diawali dari Keraton yang nantinya diiringi iring-ringan yang membawa Panjang Djimat dan beberapa pusaka dari Bangsal Agung Panembahan ke Langgar Agung pada tepat pukul Sembilan malam dan kemabli pukul sebelas ke Bangsal Agung Panembahan. Di Langgar Agung sebelum kembali ke Bangsal Agung diadakan acara Aysraqalan yang di pimpin oleh Penghulu Keraton. Sega Rasul (Panjang Rasul) kemudian akan di bagikan kepada yang hadir disitu dan biasanya orang-orang akan berebutan untuk mengambil bagian walaupun hanya sedikit, yang mereka yakin mengandung Barakah. Persiapan semua prosesi dimulai dari hari ke limabelas bulan Sura dengan membersihkan beberapa bagian Keraton dan pusaka-pusaka yang di lakukan oleh para abdi dalem (orang-orang yang mengabdi ke keratin tanpa di bayar).
Panjang Djimat sendiri berupa piring lodor besar buatan china yang berdekorasi Kalimat Syahadat bertulisakan huruf Arab yang diyakini dibawa langsung oleh Sunan Gunung Djati. Sebanarnya acara panajng djimat ini sendiri hanya mengingatkan kita bahwa Panjang Djimat berarti; Panjang berarti dawa (panjang) tak berujung, Djimat berarti Si (ji) kang diru (mat). Artinya tulisan Syahadat yang tertulis di piring tersebut supaya selalu kita pegang selamanya sebagai umat muslim hingga akhir hayat.
Iring-iringan itu sendiri pada dasarnya melambangkan moment kelahiran Nabi Muhammad saw. Dianataranya ada 19 bagian penting dalam iring-iringan tersebut. Satu bagian diikuti oleh bagian lainnya dan masing-masing bagian ada seorang yang membawa lilin-lilin. Pertama seorang pria yang membawa sebatang lilin di tangannya yang berperan sebagai pelayan (Khadam) berjalan memberikan cahaya ke bagian kedua diikuti dua orang pria. Salah seorang pria membawa sesuatu yang menggambarkan sosok Abu Thalib (paman Rasul) dan pria kedua menggambarkan Abdul Muthalib (kakek Rasul). Mereka berjalan di malam hari untuk di berikan ke midwife. Selanjutnya ada salah satu grup pria yang membawa dekorasi yang di sebut Manggaran, Nagan dan Jantungan yang melambangkan kebaikan Abdul Al-Muthalib, Seorang wanita membawa Bokor Kuningan yang terisi dengan koin-koin didalamnya yang melambangkan sifat ibu Rasul, selanjutnya diikuti seorang wanita yang membawa nampan yang terdiri dari botol berisi Lenga Mawar (distilasi bunga mawar) yang melambangkan Air Ketuban. Sebuah nampan yang terdiri dari kembaang Goyah, Obat tradisonal melambangkan Plasenta. Penghulu Keraton bertindak seolah-olah memotong ari-ari.
Selanjutnya inti dari Panjang Djimat tersbut terdiri dari dua belas acara yang melambangkan 12 Rabi'ul Awwal atau Mulud yang merupakan hari kelahiran Rasulullah yang misinya membawa Kalimat Syahadat. Masing-masing piring dibawa oelh dua orang yang di iringi dua orang pengawal, semua yang membawa piring-piring tersebut di biasa dipanggil Kaum Masjid Agung, Panjang Djimat adalah tujuh angka penting. Kalimah Syahadat membawa setiap orang untuk menuntun ke tujuh tingkatan atau di Cirebon dikenal dengan Martabat Pitu yang merupakan doktrin dari tarek Syattariyah. Kembali ke prosesi ada dua orang pria yang membawa sejenis termos yang berisi bir untuk mengumpulkan darah setelah melahirkan, diikuti dua orang pria yang masing-masing membawa nampan dengan botol yang berisi jenis bir yang lain yang melambangkan kotoran saat melahirkan. Sebuah pendil yang berisi Sega Wuduk (nasi uduk) di bawa oleh seorang pria yang melambangkan betapa susahnya saaat melahirkan. Selanjtnya diikuti dengan Nasi Tumpeng dengan bekakak ayam yang di sebut dengan Sega Jeneng yang melambangkan Syukuran (Selametan) lahirnya seorang bayi. Selametan pada saat di berikan nya nama untuk seorang bayi yang biasanya pada saat ari-ari sang bayi mongering dan lepas (Puput). Tiga bagian terakhir pertama adalah delapan Cepon (wadah yang terbuat dari bambu) yang melambangkan delapan sifat Rasul. Empat sifat pertama adalah Sidiq (Cerdas), Amanah (Dipercaya), Tabligh (Menyampaikan), Fathonah(pintar), kempat sifat ini disebut sifat Wajib yang dimiliki Rasul. Dan keempat lainnya adalah sifat yang tidak dimiliki oleh Rasul yaitu Kidzib, Khianat, Kitman dan Baladah. Masing-masing Cepon penuh dengan beras yang menandakan Kemakmuran dan Yang Maha Kuasa memberikan naungan keseluruh alam (Rahmatan lil-'Alamin). Selanjutnya diikuti empat buah Meron atau Tenong (wadah besar bebentuk bundar) menandakan manusia terdiri dari empat elemen, Tanah, Air, Udara dan Api. Ada sumber yang mengatakan bahwa keempatnya adalah empat sahabat kalifah Abu Bakr, Umar, Ustman dan Ali. Selanjutnya diakhiri dengan empat Dongdang (wadah besar) yang melambangkan spiritual manusia yang terdiri dari Ruh, Kalam, Nur dan Syuhud yang nenandakan Keagungan Tuhan. Ada juga yang mengatakan keempat-empatnya adalah melambangkan empat Madzhab: Maliki, Syafi'I, Hanafi dan Hanbali.
Beberapa daerah juga merayakan acara Muludan ini dengan prosesi yang berbeda, akan tetapi biasanya acara membersihkan pusaka yang disaksikan oleh khalayak ramai seperti di Astana Gunung Djati pada tanggal 11, di Desa Panguragan pada tanggal 12, di desa Tuk pada tanggal 17 dan desa Trusmi pada tanggal 25 di bulan Maulud ini. 

tulisan ini dikutip dari tulisan zenbae.